SUKOHARJO(TERASMEDIA.ID)- Sebelum bulan Ramadhan tiba, masyarakat Jawa mempunyai tradisi unik yaitu nyadranan. Tradisi ini dengan membersihkan sebuah makam dan mengirim doa untuk para leluhurnya yang telah tiada.

Selain menaburkan bunga di makam, di beberapa wilayah disertai dengan membawa tenongan yang dibawa warga.

Tenongan ini berisi nasi, ayam semur atau goreng, telur, peyek, bihun goreng, sambel goreng krecek, buah-buahan, aneka kue jajanan pasar, dan lain-lain.

Ubo rampe nyadranan tersebut dijajar rapi di pemakaman, diiringi doa bersama dipimpin tokoh agama, lalu dimakan bersama-sama di makam tersebut.

Biasanya antar warga saling tukar menukar lauk dan sisanya dibagikan kepada,warga yang lain. Nasi sadranan ini, rasanya sangat nikmat karena usai didaoakan banyak orang.

Tak ketinggalan di makam petilasan Keraton Kartasura juga mengadakan nyadran. Komunitas Paguyuban Wargo Ageng Kartasura (Pawartos) beserta komunitas pecinta seni dan budaya lain, juga ikut serta.

Mereka mengadakan besik atau bersih makam di sana. Tak ketinggalan di area Benteng Sri Menganti. Area watu kembar atau petilasan kamar tidur Raja, semua dibersihkan.

Menurut Djoeyamto, selaku pemrakarsa kegiatan nyadranan ini, kegiatan ini dilakukan untuk melestarikan budaya leluhur kepada para generasi muda.

Selama ini, situs Keraton Kartasura ini terkesan terbengkelai, tidak terawat. Banyak warga yang enggan masuk karena kesannya angker.

Dengan bebersih situs ini, ada dampak besar yang ingin dicapai.

Diharapkan komunitas budaya, seni atau olahraga, bisa memanfaatkan situs ini untuk menggelar event-event. Dengan demikian, situs keraton menjadi ramai, bersih, dan selalu terawat.

“Kita berharap, apa yang kita lakukan ini ada impact-nya. Petilasan Keraton Kartasura ini mempunyai nilai sejarah, sebagai cikal bakal berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Kami berharap, situs ini bisa menjadi ruang publik untuk menggelar event-event seni budaya, olahraga, ataupun ruang diskusi,” jelas Djoeyamto yang sangat peduli dengan pelestarian seni budaya ini.

Pengiat sejarah dan budaya Soloraya, Surojo menjelaskan, yang boleh dimakamkan di Makam Pamijen ini adalah keturunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat semenjak Pakubuwono V dan seterusnya.

Di sini dimakamkan keturunan PB V yaitu Eyang Raden Mas Ngabehi Sonto Projo yang merupakan cucu dari GPH Sonto Kusumo Putro (Putra dari PB V).

Karena makam di Laweyan sudah penuh, maka oleh keluarga dimakamkan di Makam Pamijen yang berada di kompleks situs Keraton Kartasura.

Surojo menambahkan, Keraton Kasunanan mempunyai beberapa pemakaman yaitu makam Laweyan, makam Pamijen Keraton Kartasura, dan makam Imogiri.

“Di sini dimakamkan eyang RM Ngabehi Sonto Projo beserta istri dan putra-putranya seperti Raden Karno, Raden Parman, dan lain-lain. Eyang Sonto Projo ini pada masa kekuasaan PB XI dan PB XII adalah sebagai Kepala Kebun Rojo (Sriwedari),” kata Surojo.

Surojo menjelaskan, tradisi Sadara yang kemudian berubah sebutan menjadi Sadran ini, sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit.

“Sadranan di sini bertujuan untuk memuliakan para leluhur dengan cara makamnya dibersihkan, mengirim doa, agar arwah leluhur diterima dan diberi tempat terbaik oleh Gusti Allah,” ujar Surojo.

Menurut sejarah, lanjut Surojo, Patih Gajahmada mengusulkan kepada Raja Hayam Wuruk agar ada tradisi untuk mengingat kembali leluhurnya yaitu Raja Gayatri. Usulan tersebut disampaikan Gajah Mada pada pertemuan agung kerajaan.

Usulan diterima Raja Hayam Wuruk dan memerintahkan para Brahmana untuk menyiapkan uborampe yang berkaitan dengan tradisi beserta upacaranya.

Pada waktu itu, Sadranan digelar di candi-candi. Nyadran itu berasal dari bahasa sansekerta, yakni sadara yang artinya roh leluhur.

“Tradisi nyadran terus berkembang pada masa Kerajaan Demak, yang menjadi penerus kelangsungan Kerajaan Majapahit. Tradisi nyadran bukannya hilang, namun makin terus berkembang sesuai kearifan lokal masing-masing daerah. Warga masih banyak yang menggelar ritual ini, untuk mengenang para leluhurnya,” papar Surojo saat ditemui di komplek makam Pamijen, Sabtu( 26/03/2022).

Menurut Surojo, dari awal terus berkembang hingga masuk pada masa Kerajaan Mataram Islam. Hanya saja tata caranya agak berbeda dengan tradisi pada masa awal, karena sekarang menyesuaikan dengan ajaran Islam, diubah tata cara atau doanya. Namun tujuannya satu, mengirim doa untuk para leluhur.

Pada masa Sultan Agung, lanjut Surpjo, menetapkan tahun Jawa, yang memadukan kalender Islam dan kalender Saka. Dalam kalender Jawa tersebut ada 12 bulan, dan salah satunya adalah bulan Ruwah.

“Bulan Ruwah kalau orang Jawa itu mengatakan untuk unggahan. Artinya menaikan doa kepada para leluhurnya,” ucapnya.

Sejak dulu, tradisi sadranan digelar sebelum bulan Ramadhan. Kenapa dilakukan pada bulan Ruwah, karena diyakini sekaligus untuk membersihkan diri dalam menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.

Selain makam Eyang Sonto Projo, di makam petilasan Keraton Surakarta ini terdapat kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Nyai Sedah Mirah. Beliau merupakan panglima perempuan pada masa melawan penjajah.

Ketua Umum Yayasan Forum Budaya Mataram, BRM Kusumo Putro menambahkan, meskipun jaman semakin maju, namun tradisi tetaplah harus menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan masyarakat.

“Tradisi Ruwahan atau Nyadranan ini sudah tidak asing lagi di kalangan orang Jawa. Namun sebagian orang sudah meninggalkan tradisi ini, karena dianggap tidak sesuai budayanya. Monggo saja tidak apa-apa, itu prinsip masing-masing orang,” terang Kusumo saat melakukan nyekar di makam leluhur keluarganya, di wilayah Kartasura.

Namun dari pengamatan Kusumo selaku Ketua Umum Yayasan Forum Budaya Mataram, masih banyak masyarakat yang menjaga tradisi ini.

Dari pengamatannya blusukan ke berbagai daerah, setiap bulan Ruwah, di semua pemakaman umum pasti ramai orang besik dan nyekar leluhur.

“Dengan tetap menjaga tradisi ruwahan atau nyadranan ini, keguyubrukunan warga masih tetap terjaga. Mereka bergotong royong membersihkan makam agar tidak angker, bersih, dan nyaman. Ahli waris yang rumahnya jauh dari makam, misalnya tidak bisa pulang, makam leluhurnya sudah ada yang membersihkan,” jelas Kusumo.

Kusumo juga menceritakan, karena makam leluhur dan keluarganya terpencar-pencar di beberapa lokasi, ia berkeliling melakukan nyekar secara bergantian. Kadang nyekar bareng-bareng dengan keluarga besar, kadang hanya sendiri saja sesuai tingkat kesibukan yang dihadapi.

“Maksimal sehari sebelum Ramadhan tiba, tradisi nyekar keluarga saya sudah selesai. Bila sudah nyekar, sebagai penerus leluhur, rasanya sudah plong,” katanya.

Tak dipungkiri, mengirim doa untuk para leluhur memang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, tidak harus dimakam dan tidak harus pada bulan Ruwah.

Namun menurut Kusumo, greget tradisi yang sudah menjadi budaya ini, menjadi bulan yang indah dan banyak yang menunggu.

Pada bulan Ruwah banyak perantuan jauh yang pulang ke kampung halaman, bertemu keluarga besar, bertemu dengan saudara-saudaranya, rasanya semakin erat persaudaraannya. (HN)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini