Syafriadi, Mahasiswa Magister MPSDA USK dalam sebuah acara (Foto: TM/ Dok)

BANDA ACEH,TERASMEDIA.ID– Sungai Rikit dan Sungai Batu-Batu menuju Sungai Soeraya, diduga tercemar oleh limbah pabrik kelapa sawit milik perusahaan PT Mandiri Sawit Bersama(MSB) II yang beroperasi di Kampung Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam.

Selain mencemari kedua sungai di atas, area sekitar juga terdampak negatif pada ekosistem dan kesehatan masyarakat sekitar.

Dugaan pencemaran tersebut dirasakan langsung warga Dusun Rikit yang melaporkan bau menyengat dan perubahan warna air sungai yang signifikan. Kondisi ini juga telah menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan bagi nelayan setempat, bahkan memaksa mereka menghentikan aktivitas selama hampir satu bulan.

Selain itu, masyarakat mengkhawatirkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan akibat paparan limbah tersebut.

Mahasiswa Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam (MPSDA), Universitas Syiah Kuala, Syafriadi menilai, mengatakan, dampak pencemaran lingkungan yang terjadi di Sungai Rikit dan Batu-batu menuju Sungai Soraya harusnya tidak terjadi dan pihak perusahaan harusnya selaras dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

Syafriadi meminta pihak perusahaan harus bertanggungjawab atas pencemaran yang menyebabkan matinya ikan di Sungai Souraya, Subulussalam itu.

“Dalam konteks hukum lingkungan itu, sudah melanggar UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tuturnya,”kata Syafriadi, Kamis(08/05/2025).

Syafriadi melanjutkan, dalam pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 melarang setiap orang atau badan usaha untuk membuang limbah tanpa izin. Kemudian di pasal 88 menyatakan bahwa penanggungjawab usaha wajib menanggung kerugian akibat pencemaran/kerusakan lingkungan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan (strict liability).

“Dan jika terbukti, perusahaan harus membayar ganti rugi kepada masyarakat dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi,”tegas Syafriadi.

Syafriadi menegaskan, apabila tidak diindahkan, perusahaan akan menerima konsekuensi tindak pidana pencemaran lingkungan dan bisa dikenai pidana penjara dan/atau denda, tergantung tingkat kerusakan dan dampaknya.

“Pada dasarnya, perusahaan wajib melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan mengelola limbahnya dengan aman. Namun bila terjadi kelalaian, tanggung jawab tetap melekat,” tegas Syafriadi.

Dari laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam, telah ditemukan tujuh ketidaksesuaian terkait izin lingkungan dalam operasional PT MSB II.

“Perusahaan ini belum memiliki beberapa izin penting, seperti Izin Gangguan (HO), Sertifikat Laik Operasi (SLO) untuk pembuangan air limbah, dan persetujuan teknis pembuangan emisi,”ujar Syafriadi.

Tuntutan Masyarakat dan Tanggung Jawab Perusahaan

Syafriadi meminta kepada Pemerintah Kota Subulussalam, segera melakukan langkah-langkah perbaikan dan pemerintah untuk lebih aktif dalam memantau dan mengawasi aktivitas operasional perusahaan guna mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Selain itu, untuk memastikan perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah daerah dan pusat.

Hal ini termasuk peninjauan ulang izin operasional PT MSB II, pelaksanaan uji laboratorium terhadap kualitas air sungai, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.

“Transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan serta pengawasan yang ketat dari pihak berwenang sangat penting untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan. Kami minta, pihak perusahaan segera mensterilkan kembali kondisi sungai dan memberikan kompensasi kerugian bagi nelayan yang terdampak,”pintanya.

Sementara itu, pihak PT Mandiri Sawit Bersama II (MSB II) belum bisa dimintai keterangan terkait dugaan pencemaran lingkungan ini. (Ics)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini