BANYUMAS, TERASMEDIA.ID–Kasus yang melibatkan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) Jati Makmur Kecamatan Jatilawang, Banyumas, terus bergulir.

Setelah digelar Musyawarah Antar Desa (MAD) Khusus yang memicu kontroversi, kini mencuat fakta baru dana bergulir sebesar Rp4,7 miliar macet di tangan salah satu ketua kelompok penerima manfaat di Desa Pekuncen, Jatilawang.

Informasi ini disampaikan langsung oleh kuasa hukum Direktur BUMDesma, Djoko Susanto, SH dari Peradi SAI Purwokerto, dalam keterangan resminya kepada awak media pada Senin (23/6/2025).

Ia menyatakan pihaknya tengah menyiapkan langkah somasi kepada para pihak yang diduga menunggak dana bergulir tersebut.

“Kami akan layangkan somasi dalam waktu 3×24 jam kepada ketua kelompok dan anggota yang menikmati dana gulir tanpa mengembalikan. Jika tidak ada itikad baik, kami akan melanjutkan ke jalur pidana,” tegas Djoko.

Dana bergulir yang sejatinya ditujukan untuk memperkuat ekonomi produktif warga desa melalui kelompok usaha mikro kini menjadi beban bagi BUMDesma.

Menurut Direktur BUMDesma Jati Makmur Venti Kristiani, dana tersebut tersebar di sejumlah kelompok tani dan usaha kecil di Pekuncen, namun sejak 2023 tidak ada pelunasan.

“Selama dua tahun terakhir, macet. Sudah dilakukan pendekatan persuasif, tetapi tidak membuahkan hasil,” kata Direktur Bumdesma, Jati Makmur Venty Kristiani.

Total nilai tunggakan mencapai Rp4,7 miliar, dana yang diperoleh dari alokasi Dana Desa lintas desa anggota BUMDesma sejak 2019 dalam skema simpan pinjam kelompok.

Sedangkan per Juni 2025 macet sebanyak Rp 2,4 miliar, sebagian besar peminjam adalah kelompok usaha binaan, namun struktur pertanggungjawaban di internal kelompok lemah.

Dalam perkembangan lain, kuasa hukum juga menyoroti kesalahan tafsir terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BUMDesma Jati Makmur yang berujung pada pencopotan Direktur Venty Kristiani dalam MAD Khusus beberapa waktu lalu.

“Pencopotan tersebut cacat hukum karena tidak sesuai mekanisme yang diatur AD/ART. Dan menyebut nama klien kami secara langsung dalam berita acara resmi tanpa pembuktian adalah bentuk pelanggaran etika hukum publik,” tandas Djoko.

Ia menyayangkan adanya framing seolah olah Venty menjadi penyebab utama kerugian atau masalah keuangan, padahal posisi direktur tidak memiliki kewenangan mengelola dana setelah disalurkan ke kelompok.

“Dana itu berada di tangan kelompok. Kalau kelompok macet, bukan berarti direkturnya yang salah. Ini harus dipahami secara proporsional,” katanya.

Somasi yang akan dilayangkan bertujuan memberi kesempatan terakhir bagi pihak-pihak penerima dana untuk menunjukkan iktikad baik. Selain itu, BUMDesma juga mempertimbangkan pelaporan ke aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan, jika tidak ada pengembalian dana.

Ada pula desakan agar audit keuangan eksternal segera dilakukan terhadap seluruh transaksi dana bergulir, guna mengetahui secara rinci kemana dana mengalir dan siapa yang bertanggung jawab.

Kasus BUMDesma Jati Makmur menjadi pelajaran penting bagi sistem keuangan desa yang berbasis kolektif.

Lemahnya pengawasan, lemahnya pembukuan kelompok, dan absennya evaluasi berkala membuat sistem simpan pinjam rentan menjadi sumber konflik dan tuduhan liar.

Menurut, Djoko, fenomena ini sebagai ‘bom waktu’ dari banyaknya dana desa yang digelontorkan tanpa penguatan institusi pengelola.

“BUMDesma punya potensi besar, tapi harus didukung sistem pelaporan digital, audit ketat, dan pelatihan tata kelola. Tanpa itu, uang habis, konflik muncul,” ujarnya.

Kasus macetnya dana bergulir sebesar Rp4,7 miliar bukan hanya soal administrasi. Ini menyangkut wajah tata kelola dana publik di tingkat akar rumput.

Jika tidak segera ditangani dengan transparan dan akuntabel, maka kepercayaan terhadap BUMDesma sebagai motor ekonomi desa akan hancur.

Sedangkan Fera Ambarwati selaku Ketua Simpan Pinjam Perempuan atau SPP Desa Pekuncen yang diduga sebagai penyebab macetnya tunggakan Rp 4,7 miliar rupiah, menuturkan, jika macetnya tunggakan sebanyak itu karena anggota belum mampu membayar.

“Rp 4 miliar lebih bukan dipakai saya pribadi, tetapi dipakai 19 kelompok di desa kami dan hingga kini masih macet, “kata Fera. (Ryon)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini