KENDAL, TERASMEDIA.ID– Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kendal menggelar Forum Group Discussion (FGD) terkait dengan Penyusunan Laporan Evaluasi Pemilihan Tahun 2024 di Hotel Sae Inn Kendal, jalan Raya Soekarno- Hatta Kendal, Rabu(19/02/2025).
Hadir pada acara ini, tiga orang narasumber dari Undip, sejumlah perwakilan dari tim pemenangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kendal dan puluhan wartawan yang sehari- hari melakukan peliputan di wilayah Kendal.
Dalam sambutannya, Ketua KPU Kendal, Khasanudin mengatakan bahwa FGD ini adalah tahapan evaluasi yang merupakan arahan dari KPU RI berkaitan dengan penyusunan laporan akhir Pilkada 2024 di Kabupaten Kendal.
“Kami sendiri sebetulnya sudah melakukan evaluasi internal berkaitan dengan Pilkada tahun 2024 dengan teman- teman PPK dan mengundang narasumber dari Bawaslu. Dan FGD kali ini, dilakukan untuk menghasilkan wawasan baru tentang pandangan, sikap maupun pengalaman dari tamu undangan yang hadir pada acara ini. Sehingga nanti ada semacam perspektif dari bapak/ ibu semua yang nantinya kami jadikan laporan kami sebagai evaluasi Pilkada 2024,”ungkap Khasanudin.
Pada sesi tanya jawab, muncul pertanyaan terkait dengan politik uang (money politics). Bahwa, hingga saat ini politik uang masih menjadi persoalan yang belum bisa diatasi. Bahkan pada Pemilu 2024, fenomena politik uang makin masif di semua wilayah di Indonesia termasuk Kendal.
Anehnya, meskipun semua orang mencium aroma politik uang, tidak ada kasus politik uang dalam pemilu bisa sampai di meja hukum.
Tono Gimsu, salah satu utusan sebuah partai menyampaikan, kondisi politik uang saat ini makin parah. Bahkan dia mengaku bisa melihat indikasinya, namun tak bisa berbuat apa-apa.
“Dalam kenyataannya, partai politik ketika ditawari seorang calon untuk diusung sebagai calon bupati, hal pertama yang dipertanyakan adalah kemampuan keuangannya. Jadi bukan soal kapasitas kepemimpinannya atau kualitas SDM-nya, melainkan kapitalnya,” kata Tono.
Peserta lainnya juga menanyakan, mana yang lebih baik, pemilu sebelum reformasi atau pemilu sesudah reformasi. Pertanyaan serupa juga dilontarkan peserta lainnya, yakni lebih baik pemilihan lewat DPR/DPRD atau pemilihan secara langsung.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Dr Turtiantoro, pakar ilmu pemerintahan Undip yang hadir sebagai salah satu narasumber menyampaikan, tidak ada ukuran yang jelas soal itu.
Dia lalu mencontohkan soal pemilihan lewat DPR/DPRD. Misalnya ada tiga pasang calon kepala daerah, yang mendapatkan suara terbanyak logikanya akan jadi pemenang
Akan tetapi, pada penentuan akhir masih ada satu syarat lagi yang ditentukan oleh pemimpin di pusat, sehingga fakta di lapangan pada akhirnya bisa berubah.
Narasumber lain, Dr Muhammad Abdullah mengatakan, meskipun ukuran baik itu relatif, setidaknya pada era setelah reformasi lahir banyak sekali aturan dan undang-undang yang mengakomodasi dan mengatur banyak hal yang sebelumnya belum diatur.
“Kalau tadi ada yang menyimpulkan bahwa selama bangsa Indonesia belum menjadi bangsa maju dan kaya maka kondisi demokrasinya masih akan seperti itu. Belum tentu juga, karena tidak ada jaminan jika bangsa kita sudah menjadi bangsa yang kaya maka demokrasinya akan lebih baik, nggak ada jaminan,” tegasnya.
Menurutnya, justru mentalitas dan karakter SDM lebih menentukan. Sebab, semua yang terjadi saat ini sudah menjadi karakter bangsa saat ini.
“Jadi, yang lebih penting lagi adalah perbaikan kualitas atau karakter SDM. Sebab, kualitas dan karakter SDM yang baiklah yang akan menciptakan pemimpin yang baik dan berkarakter baik,”ucapnya.(SPW)