SUKOHARJO(TERASMEDIA.ID)– Komunitas pecinta dan pelestari budaya Yayasan “Mataram Jayanti Baswara Nagari” (MJBN) membangkitkan kembali kuliner tempo doeloe, yang pernah dinikmati para Raja. Di antaranya proses pembuatan ingkung jendali sodo dan racikan teh tanpa gula tetapi rasanya manis.
Kegiatan sarasehan sembari napak tilas budaya tersebut berlangsung di Sekertariatan MJBN yang berada di Wedangan Njero Keraton, di dalam benteng petilasan Keraton Kartasura, baru-baru ini.
Dalam prosesnya, ingkung yang berasal dari ayam jago atau jantan tersebut, diproses sebanyak lima kali. Hal ini agar tekstur dagingnya empuk, karena daging ayam Jawa terkenal dengan alotnya.
Dalam napak tilas budaya kuliner ini, yang memasak adalah Alfian Prasetya, salah satu anggota MJBN, dibantu anggota lainnya.
Kegiatan yang diberi nama “Kwali Mataram” ini, mengambil kuliner jaman Mataram Tahun 1650 – 1670.
Namanya juga napak tilas, sehingga tata cara pertemuan dan suguhannya, juga mirip zaman dulu. Untuk demo memasaknya, diadakan di lokasi lengkap dengan peralatan yang terbuat dari gerabah dan memakai tungku kayu dan asap mengepul di dalam ruangan.
“Zaman dulu ya seperti ini kalau leluhur kita punya hajat. Asapnya dari dapur masuk ke dalam ruangan, dulu belum ada gas apalagi listrik,” kata duo MC yang membuka acara tersebut.
Suguhan pertama adalah racikan teh brampan, terdiri dari lima bahan. Di antaranya the hijau dan teh hitam, dan tiga bahan lainnya yang saat ini jarang kita temui di pasaran.
Ramuan diseduh dalam teko tanah liat. Setelah didiamkan beberapa waktu, the dituang ke cangkir tanah liat yang ada tutupnya.
“Zaman dulu, dalam peradaban Mataram, bila yang minum teh kaum perempuan, tutup cangkir dibuka sedikit pas di bibir saja. Namun untuk kaum laki-laki, tutup cangkir boleh dibuka tetapi masih dipegang tangan kiri, tidak boleh diletakkan di atas meja. Posisi tubuh harus tegak, tidak boleh bersandar ke kursi,” papar Ketua MJBN Nurcholis Triatmoko, yang biasa disapa Mbah Koko.
Menurut Mbah Koko, komunitas pelestari budaya ini mencoba untuk menggugah sejarah yang telah hilang. Karena dari sejarah peradaban Mataram, banyak sekali terjadi pergolakan, rebutan kekuasan, peperangan, dan lain-lain. Apab
ila dibahas tidak akan mungkin selesai, karena banyak versi.
Untuk itu, MJBN mencoba menggali sejarah dari sisi kulinernya, tata krama, bumbu, rempah, dan lain-lain. Dari pendekatan seperti ini, nanti bisa diambil manfaatnya untuk ekonomi kerakyatan.
“Zaman dulu kan ada racikan teh tanpa gula namun rasanya sudah manis. Dari sisi kesehatan hal ini sangat bagus. Nah, kami mencoba mengemas hal itu. Siapa tahu, racikan yang belum diketahui masyarakat banyak ini, bisa kita jual sehingga menghasilkan income,” jelas Mbah Koko.
Selain teh brampan, para hadirin juga diperkenalkan dengan camilan jemblem yang terbuat dari ketela manis yang dilembutkan, tengahnya diberi gula merah, dan digoreng dengan wajan gerabah. Bentuk dan rasanya mirip klenyem jaman sekarang.
Juga ada kudapan srumping, yaitu dari tepung yang tengahnya diberi pisang, lalu dikukus setelah dibungkus dengan daun pisang. Setelah masak, bungkusnya dibuang, pisang berbalut tepung beras itu diwadahi mangkuk gerabah, lalu disiram santan manis hangat, makannya dengan sendok bebek.
Salah seorang pengurus MJBN, Alfian Prasetyo (32) yang meracik kuliner tersebut, juga menyajikan cara membuat ingkung jendali sodo, yang dibuat dalam lima kali proses.
Setelah ayam dibersihkan dan dibentuk ingkung, dilumuri dengan bumbu rempah, lalu direbus. Merebusnya di kuali besar, sehingga daging masuk dengan sempurna.
“Proses perebusan sampai dua kali, dengan bumbu rempah yang berbeda dari rebusan pertama. Setelah direbus dua kali, ayam didiamkan sebentar,”kata Alfian Prasetyo.
Proses ketiga, ayam digoreng di atas wajan. Minyaknya diberi bumbu rempah sedemikian rupa, termasuk daun pandan, daun kunci, kulit bawang, dan lain-lain. Setelah selesai digoreng, ayam didiamkan dulu sebentar.
Proses ke empat, ayam yang sudah digoreng ini, dibungkus dengan daun pisang, yang diluarnya dilapisi daun talas atau lompong. Setelah itu dibungkus lagi dengan alumunium foil, lalu dibalut dengan lumpur sampai benar-benar tertutup.
Proses ke lima, ayam dibenamkan dalam api arang, sehingga pemanasannya sempurna dari atas dan bawah. Pembakaran berlangsung sekitar 1 jam untuk hasil yang maksimal.
“Dulu kan belum ada oven. Zaman raja-raja mengolahnya ayam lunak ya seperti ini. Dulu belum ada alumunium foil tetapi sudah ada lembaran kuningan yang tipis seperti alumunium foil. Lembaran kuningan tersebut untuk bungkus ayam dan bisa dicuci kembali setelahnya,” jelas Alfian Prasetya.
Fungsi daun lompong untuk menahan panas, sehingga ayam tidak langsung gosong. Sedang alumunium foil sebagai penghantar panas agar merata.
Ingkung jendali sodo ini, disajikan dengan nasi uleng, yaitu beras dan thiwul. Lauknya wader iwak kali yang sudah digoreng atau udang kecil-kecil, sambal lombok ijo, dan lalapan.
“Ingkung ini disajikan untuk syukuran ketika keraton Kartasura pertama kali berdiri serta menjadi daulat negara Kartasura tahun 1682. Saat itu ada pertemuan antara Amangkurat II dengan RM Puger yang ada di Pleret. Tujuh kasta semua dipanggil membahas sinergi antara pemerintahan dengan masyarakat,” papar Prasetya yang sudah malang melintang mempelajari sejarah.
Dulu, masih menurut Prasetya, setiap acara atau kegiatan raja, ingkungnya selalu berbeda-beda, menyesuaikan kegiatannya apa. Ada 12 macam ingkung yang ada di Kerajaan Kartasura.
Antara lain ingkung jendali sodo, pramuwargono, sapto kolo jiwo, melati gonjang-ganjing, kembang segoro wangi, segoro seto, segoro geni, segoro mungkur, kaliboyo, bajul mati, dan ingkung melati sedo untuk upacara kematian.
Mengapa aneka makanan sangat diperlukan untuk pertemuan raja dan hulubalangnya? Dan mengapa cita rasanya begitu tinggi?
“Hal ini ada filosofinya. Dalam setiap pertemuan membahas hal-hal yang penting, aneka jamuan memang harus dikedepankan jaman dulu. Bila perut sudah kenyang, mau membahas apa saja, pasti hasilnya bagus,” terang Prasetya yang sudah mempelajari sejarah sampai ke Negara Belanda.
Nampaknya kebiasaan raja-raja yang menjamu tamu-tamunya dalam setiap pertemuan, ditiru oleh para pejabat dan orang awam sekarang. Karena logika yang jernih tidak akan masuk tanpa logistik, begitu candaan yang sering kita dengar.
Sementara itu, Ketua Forum Budaya Mataram BRM Kusumo Putro yang hadir dalam kegiatan tersebut, mengaku takjub dengan kekayaan kuliner jaman raja-raja.
“Ini sangat luar biasa, sesuatu yang baru. Bahkan kami pun juga baru kali ini tahu ternyata di jaman Mataram memiliki banyak warisan kuliner makanan dan minuman. Tadi kami mencicipi minuman teh dari rempah-rempah rasanya manis tapi tanpa memakai gula. Ini kan hal hal lama yang menjadi hal baru di kehidupan kita. Informasi ini belum banyak yang tahu,” kata BRM Kusumo.
Sebagai pelestari budaya, BRM Kusumo akan mengusahakan bagaimana kuliner zaman Mataram Kuno melalui dinas-dinas terkait, bisa disajikan kembali untuk masyarakat luas.
“Mungkin kami nanti akan melakukan festival kuliner zaman Mataram beserta demo cara memasaknya sekalian. Agar apa? Agar masyarakat luas beserta generasi muda tahu bahwa kekayaan kuliner yang bercita rasa tinggi, sudah dimiliki nenek moyang kita,” jelas BRM Kusumo.
Salah seorang pengunjung lainnya, Edwin, warga Karanganyar, mengaku baru kali ini menikmati teh manis meskipun tidak memakai gula.
“Teh ini sangat langka dan bagus untuk kesehatan karena tanpa gula. Cocok untuk dikembangkan ini,” ujar Puryono. (Hasna)