SUKOHARJO(TERASMWDIA.ID)- Untuk menjadi seorang eksportir itu memang tidak mudah. Ada resiko yang harus ia tanggung, meski bukan kesalahan yang sengaja ia perbuat.

Seperti yang menimpa seorang pengusaha bernama Gatot Sucipto Hardyanto(57 tahun) asal Desa Luwang, Kecamatan Gatak, Sukoharjo, Jawa Tengah ini.

Ia harus mendekam di tahanan selama 5 bulan, dengan tuduhan telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Karena apa? Karena, Direktur PT Jannas ini dituduh barang yang akan diimport adalah limbah. Namun tuduhan tersebut tidak terbukti setelah melalui persidangan panjang di Pengadilan Negeri Sukoharjo.

Menurut Kuasa Hukum Gatot, Christiansen Aditya, menjelaskan kronologi kasus tersebut, awalnya PT Jannas menerima pesanan sarung tangan nitrile atau karet dari Spanyol. Sehingga kliennya mempersiapkan perencanaan dengan melakukan training kepada ratusan calon karyawan.

Kliennya juga berkonsultasi untuk mendapatkan Kemudahan Importasi Tujuan Ekspor (KITE). Untuk perizinan atas perusahannya itu juga sudah terpenuhi atau komplit.

Untuk memenuhi pesanan dari Spnyol, tambah Aditya, PT Jannas kulakan (membeli/ mengimport) sarung tangan defect atau cacat kecil dari Malaysia sebesar 50 persen dari total pesanan.

“Dari hasil konsultasi, pihak PT Jannas mengimpor 50 persen sarung tangan defect atau cacat kecil sehingga bisa diperbaiki, dia mengambil barang tersebut (kulakan) dari Malaysia. Sementara 50 persen lainnya, kuantitas lain yang diekspor adalah sarung tangan karet baru,” jelas Aditya saat jumpa pers dengan sejumlah wartawan, Selasa (23/08/2022).

Pengiriman barang dari Malaysia melalui jalur laut tiba di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

Sesampainya di pelabuhan, barang tersebut diperiksa, dan secara sistem sudah dibuat Pemberitahuan Impor Barang (PIB) oleh Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).

Karena Gatot masih baru dalam dunia importir, maka barangnya sebanyak 15 karung itu, ditetapkan berada di jalur merah. Artinya harus diperiksa secara fisik dan dokumen.

“Sebanyak 15 karung itu, dicek semua, disaksikan oleh petugas beacukai dan oleh perwakilan PPJK. Kemudian setelah pengecekan selesai, Pejabat Fugsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) menerbitkan Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPPB) pada 26 Januari 2021,” ujar Aditya.

Begitu SPPB terbit, tambah Aditya, artinya secara fisik dan dokumen barang tersebut sudah sesuai dan bukan barang larangan. Sehingga barang tersebut seharusnya bisa keluar dari wilayah pabean.

Satu hari kemudian, pada 27 Januari 2021 barang tersebut memang sudah tiba di gudang PT Jannas.

Namun naasnya, begitu barang tersebut masuk gudang, justru petugas Bea Cukai Solo menyegel barang tersebut, atas perintah Bea Cukai Semarang.

Alasannya, barang tersebut akan diperiksa ulang. Pada 29 Januari 2021 datanglah dua orang petugas Bea Cukai Semarang untuk memeriksa ulang.

“Kemudian petugas Bea Cukai Semarang melakukan pemeriksaan ulang dengan menghadirkan petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui video call. Hasil pemeriksaan dengan video call tersebut, keluarlah surat Direktorat Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan non B3 pada 3 Feburari 2021 dinyatakan barang impor itu bukan barang baru. Dan merupakan limbah non B3,” ungkap Aditya.

Dengan surat tersebut menjadi dasar penyidik penuntut umum mengajukan perkara ini sampai di pengadilan. Kasus ini ditangani Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Penegakan Hukum KLHK Jakarta.

Lalu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, setelah itu pelimpahan tahap dua ke Kejari Sukoharjo karena locus delictie di Sukoharjo.

Untuk Gatot selama pemeriksaan dititipkan di tahanan Polsek Kartasura selama 5 bulan yaitu sejak 24 April 2022 sampai putusan sidang di PN Sukoharjo 22 Agstus 2022.

Aditya melanjutkan, selama proses persidangan, pihaknya optimistis, mengingat adanya keputusan Mahkamah Agung (MA) yang berisikan pedoman dari hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup khususnya tindak pidana.

Apa saja yang menjadi pihak Gatot dan pengacaranya yakin? Yaitu alat bukti yang dijadikan dasar harus sah dan valid. Padahal menurut lawyer, surat tersebut tidak valid dan sah karena hanya melalui video call saja tanpa melalui uji fisik.

Kata dia, pemidanaan justru seharusnya tidak perlu mengingat adanya sanksi administrasi.

“Mereka (penyidik) seharusnya lebih professional, antara pemeriksa barang dan Pejabat Fugsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) itu harusnya ada komunikasi yang bagus. Kalau memang terjadi pelanggaran pabean terapkan pasal 53 ayat 3 UU nomor 17 tahun 2006 tentang kepabeanan,” jelasnya.

Dalam pasal tersebut tertulis, semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir, dibatalkan ekspornya, diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai.

“Jika dalam kenyataannya, pabean atau bea cukai sudah menerbitkan SPPB yang merupakan produk mereka sendiri, ya hormatilah itu, jangan sudah dikeluarkan SPPB barang keluar masih dikejar, masih diperiksa ulang,” ujarnya.

Dalam perkara tersebut, lanjut Aditya, kliennya dituntut pidana penjara tujuh tahun dengan denda Rp 4 miliar dikurangi tahanan sementara.

Kliennya telah mendekam di penjara sejak 24 April 2022 karena telah ditetapkan sebagai tersangka.

Dari hasil sidang peradilan di PN Sukoharjo, Gatot dinyatakan bebas tidak bersalah.

“Kami memandang tuntutan ini tidak berdasar dan keji, dan kami bersyukur keadilan masih ada. Majelis hakim memutus bebas kepada klien kami. Artinya tidak terbukti secara sah ada tindak pidana,” jelasnya.

Aditya mengatakan, kleinnya telah mempunyai certificate of origin (COO) dari dewan perniagaan Malaysia. Artinya barang tersebut sudah diperiksa dan dinyatakan secara benar barang tersebut dalam keadaan baik.

“Kami hadirkan dan sajikan di depan persidangan. Kalau barang limbah tidak mungkin bisa mendapatkan COO tersebut,” jelasnya.

Saat ini selain tentunya mendapatkan kerugian imateriil, kliennya juga dirugikan secara meteriil sekitar Rp150 juta kerugian barang.

Mengingat harga beli 15 karung itu senilai USD10.500. Juga untuk pembayaran beacukai mencapai Rp 44 juta. Dan kerugian lain seperti karyawan yang tidak bisa bekerja.

Atas kasus yang menimpa kliennya, PT Jannas berhenti beroperasi, meski tidak ada pelarangan untuk itu.

“Perusahaan klien kami tidak ada pelarangan untuk berhenti beroperasional dari pihak manapun. Namun karena ada kejadian tersebut, operasional dihentikan sampai sekarang. Barang bukti sarung tangan juga sudah disita semuanya,” kata Aditya.

Atas bebasnya Gatot, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

“Untuk menghadapi kasasi JPU, kami tinggal menunggu kasasi dari saudara jaksa. Untuk kami pelajari dulu dan akan kami buat kontra memori kasasi. Sesuai UU, waktu untuk mereka membuktikan diperadilan sebelumnya, sehingga upaya pengajuan kasasi itu, seharusnya sudah tidak ada,” jelas Aditya.

Kini Gatot sudah menghirup udara bebas. Namun usahanya untuk ikut memulihkan ekonomi saat Covid-19 dengan merekrut banyak tenaga kerja, kini tinggal impian saja.

Pesanan kaos tangan dari Spanyol tidak jadi ia penuhi. Pabriknyapun kini sudah ia hentikan.

Gatot sama sekali tidak menyangka, kalau usaha awalnya untuk merintis sebagai eksportir, harus berakhir seperti ini.

Awalnya Gatot menekuni usaha furniture dan ingin mengembangkan usaha di bidang lain yaitu pembuatan sarung tangan karet. (HN)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini