Oleh : Dwi Siamintarsih. SKM., M.Kes
Kita pasti mengenal Tjut Nyak Dien dari Aceh, RA. Kartini dari Rembang, dan Dewi Sartika dari Bandung. Mereka adalah pejuang-pejuang pada masanya masing-masing. Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, tentu perjuangan perempuan masih belum selesai.
Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Maju ini, tantangan terhadap peranan perempuan juga tidak ringan. Masing- masing generasi memiliki tantangannnya sendiri untuk diselesaikan.
Kita bisa menyaksikan, peran politik perempuan memang meningkatkan tajam. Dengan adanya kuota 30% untuk anggota legislatif, maka kesempatan perempuan untuk menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota semakin besar. Belum lagi kesempatan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kini, memang sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis di berbagai institusi pemerintahan, Badan Usaha Miliki Negara, Polri, dan yang mengomandani sejumlah perusahaan swasta yang berhasil pada bidang bisnisnya.
Profesional-profesional dari berbagai bidang juga banyak diisi kaum perempuan. Sudah banyak pula perempuan menjadi bupati, bahkan ada yang berhasil menjadi Guberbur dan Wakil Gubernur. Dengan demikian, kiprah perempuan dalam konteks pembangunan nasional semakin nyata.
*Perempuan Sebagai Pemimpin Perubahan*
Indonesia sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Indonesia juga memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) nomor empat di dunia, yakni, setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan potensi SDA dan SDM tersebut, wajar apabila para pendiri bangsa melalui cita-cita Proklamasi telah mencanangkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan sosial.
Artinya, dengan Proklamasi Kemerdekaan, maka bangsa Indonesia memiliki kesempatan secara berdaulat menentukan nasibnya sendiri, mengelola kehidupan negara dan bangsanya secara mandiri untuk melakukan pembangunan nasional.
Namun demikian, kita patut prihatin, upaya pembangunan nasional masih belum mampu mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Pancasila dan UUD 1945 jelas-jelas mengarahkan kepada bangsa Indonesia, bahwa kesejahteraan adalah hak bagi semua warga negara, tanpa terkecuali.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 mencatat 26,16 Juta (9,5% dari total penduduk Indonesia) penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan. Di Jawa Tengah angka kemiskinan menurut BPS Maret 2022 mencapai 3,83 juta jiwa (10,93% dari jumlah penduduk 37,9 juta jiwa).
Di Kabupaten Semarang angka kemiskinan mencapai 7,82 % dari jumlah penduduk sebanyak 1.059.844 penduduk (Buku Kabupaten Semarang dalam angka – BPS Kab Semarang tahun 2022) , Kabupaten Batang 9,6 % penduduk miskin dari 810.000 penduduk (TribunMuria.com 3 November 2022) , Kabupaten Kendal sebanyak 100.000 penduduk miskin yaitu 10,24 % (katalog BPS: 4102004.3324 tahun 2022).
Kondisi demikian tentu sangat memprihatinkan. Mengingatkan tingginya angka kemiskinan menunjukkan rendahnya pemerataan hasil-hasil pembangunan dan semakin rendahnya kemampuan perekonomian masyarakat. Pada sisi lain, tingginya angka kemiskinan, akan semakin besar ketergantungan masyarakat kepada negara.
Ini juga menunjukkan, bahwa kesempatan kerja bagi masyarakat usia produktif tidak selaras. Sementara, untuk menjadi masyarakat mandiri mereka pun mendapatkan kendala daya dukung permodalan dan jenis usaha yang akan dilakukan.
Dalam konteks inilah, perempuan bisa berperan lebih aktif. Perempuan bisa menjadi Pemimpin perubahan untuk masyarakatnya. Yang dimaksud dengan masyarakat di sini, bisa dimulai dari lingkungan terendah, yakni, rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya.
Atau dalam konteks yang lebih spesifik, bisa berperan dalam sebuah komunitas tertentu, misalnya, perempuan di perkampungan nelayan, kawasan kumuh, wilayah terisolir, dan lain-lain. Dibutuhkan kerelaan dari kaum perempuan profesional/mampu/terdidik untuk turun langsung kepada masyarakat.
Yang tidak kalah penting, perempuan juga harus mampu membukakan akses perekonomian. Secara tradisional, perempuan semula hanya menempati posisi sebagai “konco wingking” bagi para suami.
Namun, sesungguhnya pada saat ini, perempuan sudah lazim menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Banyak juga kisah yang menunjukkan, bahwa kaum perempuan justru lebih eksis dari para suaminya.
Secara politis pun, banyak kaum lelaki belakangan justru menjadi pendamping bagi sang istri yang tengah memiliki posisi penting. Dan, sebagai istri, secara tradisional perempuan harus mampu pula menempatkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Yakni, sebagai seorang Ibu yang harus pula berperan aktif dalam mengurusi kehidupan rumah tangga.
*Menegakkan Integritas Moral*
Melihat perkembangan belakangan ini, sangat memprihatinkan pula terjadinya dekandensi moral di tengah-tengah masyarakat kita. Celakanya, dekandensi moral seperti mewabah pada seluruh strata kehidupan masyarakat. Tidak hanya pada tataran elit juga pada tataran masyarakat di tingkat bawah.
Dekadensi moral tidak hanya dilihat dari aspek berubahnya perilaku seks, namun secara menyeluruh, seperti meningkatnya tingkat korupsi, penyalahgunaan narkoba, kekerasan pada anak dan perempuan, dan berbagai perilaku yang dapat digolongkan pada tindakan kriminalitas.
Integritas moral sesungguhnya bukan hanya urusan agamawan dan pendidikan formal. Integritas moral menjadi tanggung jawab seluruh komponen masyarakat dari lingkup yang kecil (rumah tangga) sampai pada tingkat nasional. Artinya, kaum perempuan pun dapat memainkan peranan penting dalam mengatasi dekadensi moral.
Sebut saja, secara sederhana sebagai seorang istri, perempuan bisa mencegah sang suami untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, sesungguhnya kaum perempuan bisa menjadi “radar” bagi perilaku menyimpang “pendamping hidupnya”. Perempuan harus bisa membatasi diri, agar tidak menjadi pendorong sang suami untuk melakukan penyalahgunaan jabatan.
Sebagai Ibu rumah tangga, perempuan harus pula mampu meningkatkan wawasannya dalam mendidik anak-anak. Di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, anak-anak bisa dengan cepat menyerap perkembangan teknologi.
Penggunaan jejaring sosial, seperti facebook, twitter dan Instagram di mana Indonesia menduduki peringkat ketiga, keenam, dan keempat, sedangkan pemakai terbesarnya adalah remaja, maka kaum perempuan pun harus mampu memanfaatkan jejaring sosial tersebut untuk “mengawal” kehidupan putra-putrinya.
Sudah banyak kasus, kaum remaja putri menjadi korban dari “orang-orang tak bertanggung jawab”, yang memanfaatkan facebook, twitter dan instagram untuk kepentingan kejahatan. Artinya, kaum perempuan pun harus melek teknologi komunikasi.
Boleh jadi, bagi sebagian besar masyarakat pedesaan dampak dari facebook , twitter dan instagram tidak menjadi perhatian. Padahal, banyak pelajar SD, SMP dan SMA, memanfaatkan keduanya untuk bersosialisasi. Jangkauan persahabatan pun terjadi melewati batas-batas kewilayahan.
Demikian pula, tatacara berkomunikasi pun kerap kali melampaui batas-batas kewajaran, yakni mengarah pada konteks, misalnya, seksualitas. Atau pemanfaatan internet untuk mengakses situs-situs porno.
Hal-hal tersebut, hanyalah sebagian kecil yang muncul akibat dari perkembangan teknologi. Namun, apabila kaum perempuan memiliki kecerdasan untuk memberikan benteng moral, tidak hanya melalui pendekatan religius, juga pendekatan psikologis, sosiologis dan budaya, niscaya akan memberikan dampak positif dalam mengatasi merosotnya integritas moral.
Ini penting dilakukan untuk masa depan negara dan bangsa Indonesia, agar pada saatnya mereka berperan pada tataran elit, bahkan sebagai pemangku jabatan, akan memiliki integritas moral yang mumpuni. Yakni, sebagai manusia yang religius, amanah dalam memangku jabatan, dan mampu menjaga martabatnya sebagai makhluk Tuhan maupun makhluk sosial.
Nah, bagaimana jika perempuan membangun dan menegakkan integritas moral di mulai dari lingkup yang terkecil; yakni diri sendiri, lingkungan keluarga, dan meluas kepada masyarakat. Bukankah begitu lebih baik ?
Penulis adalah pemerhati masalah-masalah perempuan, Presidium Majelis Wilayah Forum Alumni HMI-Wati Jawa Tengah, Wakil Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia-Jawa Tengah, Wakil Ketua Muslimat Dewan Dakwah Indonesia – Jawa Tengah, Ketua Majelis Daerah Forum Alumni HMI-Wati Kabupaten Kendal, Sekretaris DP2KBP2PA Kabupaten Kendal *