BANYUMAS(TERASMEDIA.ID)– Dampak kekerasan dapat berupa gangguan fisik maupun psikologis termasuk gangguan kecerdasan dan ketrampilan kognitif, percaya diri yang rendah, risiko gangguan kejiwaan sampai masa dewasa seperti kecemasan, gangguan mood (suasana hati), stress paska trauma (PTSD), sulit membangun hubungan sehat dan menurunnya kualitas hidup anak.

Hal tersebut dikatakan Ketua Perkeswari Cabang Banyumas Raya, dr. Hilma Paramita, SpKJ belum lama ini.

Menurut dr. Hilma Paramita, SpKJ, kenakalan remaja yang mengarah pada kriminalis, penyalahgunaan NAPZA, praktik seksual yang tidak sehat dan adanya risiko sebagai pelaku kekerasan di masa depan adalah dampak kekerasan di masyarakat dan bangsa yang dapat berlanjut antar generasi dan urgen untuk segera diputus.

“Ada beberapa faktor risiko kekerasan baik secara individu seperti usia anak, kebutuhan khusus atau anak dengan masalah-masalah sosial khusus, disabilitas, faktor risiko interpersonal seperti kemiskinan, gangguan kejiwaan, kekerasan dalam rumah tangga,”kata dr. Hilma Paramita.

Faktor risiko komunitas seperti kejahatan dan kekerasan di lingkungan sosial, faktor risiko sosial seperti kebijakan dan trend ekonomi, ketidaksetaraan gender. Langah-langkah penanggulangan sejak preventif, kuratif dan rehabilitatif dapat dimulai di lingkungan terdekat.

Dr. dr. Dwidjo Sapoutro, SpKJ (K) memberikan banyak catatan pada Kuliah Umum dengan tema “Faktor Budaya dan Kekerasan pada Anak dan Remaja”.

Budaya dapat menjadi faktor preventif namun juga dapat menjadi faktor risiko kekerasan. Perbedaan-perbedaan tersebut seringkali disebabkan oleh perbedaan metode budaya dalam memberikan nafkah, pengawasan, disiplin, dan stimulasi mental kepada anak-anak mereka.

Beberapa orang tua dengan latar belakang budayanya mentolerir beberapa bentuk kekerasan seperti mencubit, menjewer, menghina yang dipercaya sebagai tujuan mendisiplinkan dan mengembangkan karakter yang lebih baik.

Dokter. Hilma Paramita memberikan perhatian terhadap budaya perlu dilakukan, termasuk pengkajian dampak budaya dalam perilaku pengasuhan serta pola komunikasi yang dikembangkan antara orang tua dan anak yang tanpa disadari mendorong perilaku kekerasan.

Pengaruh kekerasan pada anak di dalam fungsi otaknya beberapa kali dibahas oleh Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, SpKJ (K), MARS dari RSJ Dr. Soeharto Heerjan, Grogol, Jakarta dan dr. Gusti Maharatih, SpKJ (K). dari RS Dr. Moewardi/FK UNS, Solo.

Dampak kekerasan pada anak terhadap otak antara lain merusak arsitektur otak ( menyebabkan kerusakan permanen pada tingkat dasar syaraf), mengurangi tingkat perhatian/atensi, memori, problem solving, kontrol diri, fungsi eksekutif otak, mengurangi fungsi kognisi secara keseluruhan, meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mental selanjutnya seperti cemas, depresi, ADHD, PTSD, gangguan kepribadian, gangguan perilaku menentang/pengendalian impuls yang mengembangkan perilaku-perilaku maladaptif yang biasa dikenal masyarakat sebagai kenakalan remaja seperti penggunaan NAPZA, perkelahian, perilaku seksual tidak sehat dan lain sebagainya.

Terhadap fungsi tubuh kekerasan dapat mengurangi status kekebalan tubuh, mengganggu metabolisme dan respons peradangan (sistem kekebalan). Perubahan fungsi otak pada korban kekerasan bahkan ditandai dengan biomarker for childhood emotional trauma.

Di sekolah secara khusus dibahas oleh Perkeswari Cabang Banyumas. Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas mencatat pesan Mentri Pendidikan dimana masih ada tiga dosa besar di dunia Pendidikan Indonesia antara lain, Intoleransi, Kekerasan dan Perundungan.

“Kekerasan di sekolah masih sering terdengar dengan berbagai bentuknya dan pelaku baik dari teman sebaya, maupun dari oknum pendidik,”ujar dr. Hilma Paramita.

Upaya penanggulangan, lanjut dr. Hilma Paramita, terus diupayakan namun dirasakan masih terbatas di bidang sanksi dan penanganan tingkat sekolah sehingga Dinas Pendidikan Banyumas mengajak para profesional yang ada untuk bekerja sama dengan Dinas Pendidikan menyelesaikan maslaah ini bersama baik dari segi preventif, kuratif maupun rehabilitatif.

Selanjutnya Dr. Desi Yulyana, SpA dari RSUD Banyumas dan Gones Saptowati, S. Psi, MA, Psikolog, ketua HIMPSI Jawa wilayah Jateng memberikan banyak pengalaman kasus-kasus terkait kekerasan di sekolah baik dampaknya dalam fisik maupun psikologis anak dan remaja.

Problem yang juga diangkat adalah adanya kekerasan digital yang dikenal juga dengan cyberbullying. Di sini remaja bisa sebagai korban dan bisa juga sebagai pelaku yang keduanya perlu ditangani secara paripurna.

Topik ini diangkat oleh dr. Kusuma Minayati, SpKJ, dari RSPN Cipto Mangun Koesoemo, dr. Risky Kusuma Wardhani, SpKFR (K), Junaidi Saibih, SH, MSi, LLM.

Selain masalah medis psikiatris juga banyak dibahas aspek hukum terkait kekerasan di dunia maya ini.

Kekerasan seksual yang merupakan kekerasan terbesar yang dilaporkan dibahas oleh dr. Isa Multazam, SpKJ (K), Dr. dr. Fransiska Kaligis, SpKJ (K), dan psikolog Dra. A. Ratih Ibrahim, MM, Psikolog.

Bagaimana dampak kekerasan seksual pada kepribadian remaja, konseling sebagai upaya rekonsiliasi, dibahas juga bagaimana peran spiritual/agama dalam penanganan masalah ini.

Beberapa penanganan yang direkomendasikan baik dalam hal fisik, mental, sosial anak antara lain, penanganan fisik yang akurat, cepat dan tepat, bantuan psychological first aid, tersediakan pendampingan korban dan dukungan sosial lain yang dibutuhkan.

Terapi oleh profesional sangat dibutuhkan baik oleh dokter anak, psikolog maupun dokter spesialis jiwa anak maupun dokter spesialis jiwa.

Bantuan profesional lain seperti bantuan hukum juga perlu disediakan. Kolaborasi setiap pihak bekerja sama-bersama-sama dalam alur yang runtun, terstruktur sangat dibutuhkan agar kebutuhan anak baik sebagai korban dan kadang pelaku bisa terpenuhi dengan baik.(BR)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini