SUKOHARJO(TERASMEDIA.ID)- Penjebolan tembok Baluwarti Kulon Petilasan Keraton Kartasura yang terjadi beberapa hari yang lalu, bakal berbuntut panjang.

Pasalnya, berbagai kalangan menunjukkan kepeduliannya terhadap situs cagar budaya tersebut.

Pembeli bernama Burhanuddin, warga Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, melakukan penjebolan tembok tersebut pada Kamis sore 20 April 2021.

Peristiwa penjebolan tembok tersebut, langsung viral dan mendapat perhatian banyak pihak.

Burhanuddin mengaku, tidak mengetahui jika tembok tersebut masuk dalam kategori cagar budaya yang dilindungi.

Burhanuddin berdalih, ia sudah resmi membeli tanah seluas 682 meter persegi seharga Rp 850 juta dari pemiliknya bernama Linawati, yang sekarang tinggal di Lampung, dan baru dibayar separohnya.

“Saya baru membayar separohnya, belum lunas. Kawasannya ini dulunya ‘rungkut’ penuh semak-semak. Saya menyewa alat berat untuk membersihkan tanah ini,” kata Burhanuddin di lokasi.

Mengapa harus menjebol tembok keraton? Dirinya mengaku sudah didukung oleh Ketua RT-nya yaitu Sumani.

“Pak RT mendukung penjebolan ini, sekaligus untuk membersihkan lokasi,” ujar Burhanuddin.

Hal tersebut juga dikuatkan oleh saudaranya, Bambang Cahyono, yang mengatakan Ketua RT mendukung tindakan penjebolan tersebut.

Namun saat dikonfirmasi, Ketua RT Sumani membantah hal tersebut. Dirinya hanya mengijinkan untuk membersihkan lokasi, tidak dengan cara menjebol tembok petilasan keraton ini.

“Tidak, saya tidak mendukung tindakan penjebolan tersebut, saya hanya menyetujui kalau lokasi tersebut akan dibersihkan. Saya tidak tahu kalau akan ada alat berat segala,” kata Sumani.

Saat alat berat tersebut bekerja, warga sekitar tidak ada yang mengingatkan atau menghentikan kalau tembok tersebut masuk dalam cagar budaya yang dilindungi.

Keeseokan harinya pada Jumat 22 April 2022, pihak Camat Kartasura, jajaran Polsek Kartasura, dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo datang di lokasi.

Petugas menyuruh menghentikan pembersihan dengan memasang garis polisi. Alat berat pun disita sebagai barang bukti. Setelah diukur petugas, lebar tembok yang dijebol sepanjang 6,40 meter, lebar 2 meter, tinggi 3,5 meter.

Menurut Kabid Kebudayaan Disdik Sukoharjo, Siti Laila, status tembok tersebut belum sebagai cagar budaya namun baru Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB).

“Meski baru ODCB, namun perlakuannya sama dengan status yang sudah cagar budaya. Siapapun tidak boleh merusaknya atau mengubah bentuknya,” jelas Siti Laila.

Meski sudah memeriksa beberapa orang saksi, namun pihak kepolisian belum menetapkan pelaku atau tersangka dalam kasus ini.

“Sampai saat ini pihak Polres Sukoharjo belum menetapkan tersangka karena masih kewenangan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Balai Pelestari Benda Cagar Budaya Jateng-DIY,” tegas Kapolres Sukoharjo, AKBP Wahyu Nugroho Setyawan di lokasi.

Bupati Sukoharjo, Etik Suryani yang mengunjungi lokasi sebanyak dua kali, sangat menyayangkan dengan adanya perusakan tembok cagar budaya.

Yang memprihatinkan, justru yang merusak warga Kartasura sendiri.

“Saya sangat kecewa dan menyayangkan hal ini terjadi. Seharusnya sebelum melakukan pembersihan dengan alat berat, tanya-tanya dulu kepada RT, RW, Lurah ataupun Camat kan bisa, jangan gegabah seperti ini. Alasannya kok hanya tidak tahu, tidak tahu!” ujar Etik.

Dengan adanya kasus ini, Bupati memerintahkan dinas jajarannya untuk melakukan inventarisir situs-situs yang ada di Sukoharjo. Sekaligus mendesak aparat untuk mengusut tuntas kenapa tanah keraton sampai bisa diperjualbelikan warga dengan status sertifikat hak milik (SHM).

“Usut tuntas juga itu kenapa tanah keraton sampai bisa jatuh ke tangan orang lain sampai bisa memiliki sertifikat,” kata Etik.

Salah seorang Putra Pakubuwono (PB) XII Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger yang biasa disapa Gusti Puger menilai kasus ini kesalahan kolektif, kesalahan bersama.

Mengapa demikian? Menurut Gusti Puger, peristiwa ini terjadi akibat kegagalan pemerintah (dalam hal ini dinas terkait) dalam memberi pemahaman atau sosialisasi kepada masyarakat, bahwa benda-benda seperti tembok ini harus dijaga bersama, tidak boleh dirusak. Juga kurangnya kerja sama antara pemerintah dan kerabat keraton.

“Ya, kesalahan kolektif untuk memberikan hak atas tanah ini. Harusnya pemerintah melindungi dan bekerjasama dengan pihak keraton,” ujarnya, saat meninjau ke lokasi baru-baru ini.

Gusti Puger menjelaskan, tanah di balik tembok Keraton Kartasura yang dijebol bersifat magersari. Yang artinya, tidak boleh menjualbelikan tanah tersebut, namun hanya berhak menempati atau menyewa.

Namun yang terjadi, tanah dibalik tembok benteng yang dijebol ini, justru sudah atas nama orang lain dan diperjualbelikan. Hal ini yang sangat ia sayangkan, mengapa bisa terjadi.

Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, KPH Eddy Wirabhumi, begitu mengetahui adanya perusakan di situs tembok benteng Keraton Kartasura, pihaknya langsung turun tangan ke lokasi.

Sumarsoni selaku Ketua Perkumpulan Budayawan Nusantara yang berada di pihak LDA Keraton Surakarta Hadiningrat menyatakan, bahwa pihaknya diberi amanat oleh KPH Eddy Wirabhumi untuk melakukan pendalaman kasus ini.

Dirinya turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengecekan lokasi, meneliti, menyelidik, mengapa sampai peristiwa ini terjadi, atas dasar hukum apa, dan lain-lain.

“Semua akan saya cek satu persatu mengapa kasus penjebolan tembok ini bisa terjadi. Pihak keraton berhak mempertahankan situs-situs peninggalan ini,” jelas Sumarsoni yang sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Wening Sukoharjo ini, saat ditemui di lokasi tembok keraton yang dijebol.

Meskipun pihak-pihak tertentu melakukan sanggahan bahwa tembok Baluwarti Kulon ini belum masuk dalam situs Cagar Budaya namun baru Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB), Sumarsoni menjawab toh sangkalan tersebut hanya secara administrasi saja.

“Namun situs petilasan Keraton Kartasura ini, masuk dalam cagar budaya itu ada ahlinya, tidak boleh ada yang mengganggu gugat,” kata Sumarsoni.

Dirinya menilai, apabila pihak pembeli atau penjebol ini merasa benar, harus melalui mekanisme yang benar. Sangkalan tersebut harus berdasarkan prosedur yang telah dilindungi konstitusi.

“Kalau sangkalan tersebut melalui Pengadilan, harus dibuktikan terlebih dahulu, harus ada eksekusi dan lain-lain. Jadi pihak yang merasa benar karena merasa tidak tahu (kalau tembok yang dijebol bukan benda cagar budaya) tidak boleh semena-mena. Kasus ini ada arogansi yang tidak beres,” kata Sumarsoni.

Bila tidak tahu, tambah Sumarsoni, seharusnya melakukan ‘tabayun’, tidak gegabah seperti ini.

Sumarsoni yang juga Ketua Persatuan Advokad Jawa Tengah ini, mendesak kepada para penegak hukum harus bertindak tegas. Kasus ini tidak bisa dianggap remeh. (HN)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini